BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Secara
normatif wanita mempunyai hak dan
kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam segala bidang kehidupan
dan bidang pembangunan seperti yang tercantum dalam GBHN, tetapi secara factual
persamaan tersebut saat ini belum terwujud, diantaranya di bidang kesehatan.
Masih banyak wanita yang mengalami diskriminasi dalam bidang kesehatan,
umpamanya: pembedaan pemberian makanan bergizi pada anak laki-laki dan wanita,
akses informasi, dan akses pelayanan kesehatan dan sebagainya.
Kaum perempuan menghadapi beragam masalah
dalam mengakses pendidikan dan pelatihan, dalam mendapatkan pekerjaan, dan
dalam memperoleh perlakuan yang sama di tempat kerja. Kendala-kendala ini dapat
menimbulkan pelanggaran akan hak-hak dasar serta menghambat kesempatan kaum
perempuan dan pada gilirannya akan merugikan masyarakat dan perekonomian
Indonesia mengingat hilangnya kontribusi besar yang dapat diberikan kaum
perempuan melalui tempat kerja.
Data menunjukkan bahwa setiap negara
kecuali Australia, Kanada, dan Amerika, wanita bekerja lebih lama aripada pria
(UNDIESA,1991b). Waktu kerja yang digunakan untuk mencari penghasilan atau
untuk memproduksi bahan pangan jarang diimbangi dengan pengurangan beban kerja
di rumah. Studi mengenai alokasi waktu mendukung perdebatan bahwa wanita
diseluruh dunia tetap memikul tanggungjawab perawatan anak dan pekerjaan rumah
secara eksklusif (Argarwal et al,
1990). Selanjutnya, perbedaan gender dalam hal total waktu kerja paling besar
ditemukan pada kelompok masyarakat miskin. Disebagian negara berkembang, rata-rata
wanita bekerja 12-18 jam per hari, sedangkan pria bekerja selama 10-12 jam.
Wanita masih pula dibebani dengan berbagai peran dalam keluarga, yaitu sebagai
pemelihara,pendidik,penyuluh kesehatan, dan pencari penghasilan (Argawal et al, 1990).
Hal ini masih terbukti masih
tingginya angka kematian ibu yaitu 228/100.000 kelahiran hidup. Tingginya angka
kematian ibu, disinyalir penyebab utamanya adalah perdarahan, infeksi, dan
toksemia dan penyebab tak langsung adalah kemiskinan, tradisi sosial budaya,
status gizi yang tidak memadai dan kurangnya akses pemanfaatan dan fasilitas
kesehatan serta rendahnya status wanita. Masalah kesehatan reproduksi wanita
ini tidak terlepas dari faktor sosial, budaya dan ekonomi secara keseluruhan.
ILO (International
Labour Organization) telah mengembangkan
beragam program untuk menyikapi permasalahan gender di dunia kerja dalam bentuk
konvensi-konvensi ILO tentang kesetaraan gender di dunia kerja. Sebagian besar
Konvensi dan Rekomendasi menerapkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan.
Namun demikian beberapa Konvensi secara khusus memberi perhatian pada masalah
yang dialami
oleh pekerja perempuan. Standar ILO menjadi katalisastor bagi tata
ekonomi yang baru dan norma-norma hukum yang berdampak kepada pekerja perempuan
sebagai berikut: kesetaraan upah, diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan, perlindungan kehamilan, pekerja
dengan tanggung jawab keluarga,
aturan-aturan tertentu terkait dengan kerja malam, bawah tanah dan paruh
waktu serta isu-isu kesehatan lainnya.
Meihat situasi di atas diperlukan usaha-usaha yang lebih sederhana,
lebih mudah terjangkau, lebih sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya
setempat, dan juga mengikut sertakan masyarakat secara umum dan terpadu. Hal
yang lebih penting dalam memasyarakatkan kesehatan reproduksi ini adalah
kesadaran dan motivasi masyarakat sendiri (terutama pihak wanita) yang menjaga
kesehatan reproduksinya.
Artinya hal ini membawa pemikiran
baru untuk mengefektifkan serta mengintensifkan pelaksanaan berdasarkan
kesadaran masyarakat dan kebutuhannya sendiri. Terobosan dan strategi bagaimana
memasyarakatkan program kesehatan reproduksi khususnya reproduksi wanita tanpa
arahan atau paksaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kesehatan Reproduksi Wanita.
Berdasarkan Konferensi Wanita
sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan Koperensi Kependudukan dan
Pembangunan di Cairo tahun 1994 sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi
tersebut. Dalam hal ini (Cholil,1996) menyimpulkan bahwa terkandung empat hal
pokok dalam reproduksi wanita yaitu :
Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive
and sexual health)
- Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making)
- Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women)
- Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security)
Adapun definisi tentang arti
kesehatan reproduksi yang telah diterima secara internasional yaitu : sebagai
keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang
berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga
disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi
setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung
jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan kelahiran anak
mereka.
2.1.1 Konsep Pemikiran Tentang Kesehatan
Reproduksi Wanita
Pembangunan kesehatan bertujuan
untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. Demi tercapainya derajat
kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima kesehatan, anggota keluarga
dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam keluarga, supaya anak
tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasi muda. Oleh sebab itu wanita,
seyogyanya diberi perhatian sebab :
- Wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria berkaitan dengan fungsi reproduksinya
- Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yang dikandung dan dilahirkan.
- Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai objek dengan mengatas namakan “pembangunan” seperti program KB, dan pengendalian jumlah penduduk.
- Masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda Intemasional diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai kesehatan reproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo).
Berdasarkan pemikiran di atas
kesehatan wanita merupakan aspek paling penting disebabkan pengaruhnya pada
kesehatan anak-anak. Oleh sebab itu pada wanita diberi kebebasan dalam
menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai dengan kebutuhannya di
mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya sendiri.
2.1.2 Pandangan Masyarakat terhadap Kesehatan
Reproduksi Wanita.
Dalam diskusi kelompok terarah (DKT)
yang berkenaan dengan kesehatan reproduksi wanita, sebenarnya pandangan
masyarakat terhadap hal tersebut. Kesehatan alat reproduksi sebenarnya bukanlah
penting menurut mereka. Juga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa
peristiwa mulai dari haid sampai perkawinan, hamil, melahirkan atau segala yang
berkaitan dengan alat kelamin wanita adalah peristiwa alamiah dan tidak perlu
dibesar-besarkan.
Pandangan yang telah berurat berakar
baik pada kelompok wanita dan masyarakat tidak terlepas dari peran jender
wanita yang disosialisasikan bahwa wanita haru mendahulukan
kepentingan-kepentingan di luar dirinya, dan bahkan sering mengabaikan
kesehatannya sendiri.
Definisi sehat dan sakit dalam
pengertian masyarakat desa berbeda dengan pengertian medis. Pengertian medis
yang menyatakan sakit adalah terganggunya salah satu organ tubuh dalam
menjalankan fungsinya, dianggap masyarakat bukanlah sakit sepanjang masih dapat
berjalan dan melakukan kegiatan seperti biasa. Berkaitan dengan kesehatan
reproduksi wanita, masyarakat beranggapan bahwa hal tersebut merupakan masalah
“pribadi” yang bersangkutan.
Akibatnya banyak wanita jika
mengalami penyakit yang berkaitan dengan alat reproduksinya berusaha mengatasi
sendiri, misalnya dengan obat tradisional atau jamu. Padahal masalahnya tidak
sesederhana itu, jika penyakitnya sudah parah barulah mereka mencari
pertolongan dokter, atau bidan.
Hal lain yang berhubungan dengan
kesehatan reproduksi wanita, adalah mengenai kegiatan ber-KB. Masyarakat
termasuk wanita yang .berusia subur beranggapan bahwa yang ber-KB adalah
wanita. Meskipun laki-laki pun dapat ber-KB misalnya dengan metode vasektomi,
tetapi baik wanita maupun laki-laki sama-sama keberatan.
Alasan wanita adalah suami adalah
tulang punggung keluarga dalam rnencari ekonomi rumah tangga. Jika terjadi
apa-apa (misalnya suami sakit gara-gara ber-KB), siapa yang menangung biaya
rumah tangga? Dalam hal ini wanita “mengalah” membiarkan dirinya ber-KB,
meskipun kadangkala kesehatan tidak mengizinkan atau alat kontrasepsi sering
tidak cocok. Alasan bagi laki-laki enggan ber-KB adalah dengan mendengar
“issue” mereka akan mengalami kehilangan gairah seksual. Dengan asumsi seperti
ini memang sukar menghilangkan “dogma” tersebut dalam
Pandangan lain yang sehubungan
dengan kesehatan reproduksi wanita adanya sebaiknya dalam memeriksa adalah
dokter, bidan atau petugas sesame wanita juga. Sebagian responden mengakui
bahwa suami mereka menghendaki jika istri mereka terpaksa berobat ke puskesmas
atau rumah sakit, terlebih dahulu cari dokter, bidan atau petugas kesehatan
sesama wanita. Alasannya sangat janggal kalau alat reproduksi wanita “dilihat”
oleh orang lain apalagi laki-laki lain. Kalau melahirkan masih dapat dimaafkan,
tetapi kalau sekedar berobat atau memeriksa kehamilan sebaiknya dengan petugas
sesama wanita.
2.2 Indikator Permasalahan Kesehatan
Reproduksi Wanita.
Dalam pengertian kesehatan
reproduksi secara lebih mendalam, bukan semata-mata sebagai pengertian klinis
(kedokteran) saja tetapi juga mencakup pengertian sosial (masyarakat). Intinya
goal kesehatan secara menyeluruh bahwa kualitas hidupnya sangat baik. Namun,
kondisi sosial dan ekonomi terutama di negara-negara berkembang yang kualitas
hidup dan kemiskinan memburuk, secara tidak langsung memperburuk pula kesehatan
reproduksi wanita. Indikator-indikator permasalahan kesehatan reproduksi wanita
di Indonesia antara lain:
- Jender, adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya yang berbeda-beda. Jender sebagai suatu kontruksi social mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
- Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
- Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
- Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak.
- Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2.2.1 Pendidikan yang rendah.
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua
tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya
biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai
pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan
saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan.
Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan
biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah
kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai
seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam
mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
2.2.2 Kawin
muda
Di negara berkembang termasuk
Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia
18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan Yang menganggap kalau belum menikah di
usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua
cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan
anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai
resiko tinggi pada saat persalinan. Disamping itu resiko tingkat kematian dua
kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain,
mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam
ekonomi dan pengambilan keputusan.
2.2.3 Kekurangan gizi dan Kesehatan yang buruk.
Menurut WHO di negara berkembang
terrnasuk Indonesia diperkirakan 450 juta wanita tumbuh tidak sempurna karena
kurang gizi pada masa kanak-kanak, akibat kemiskinan. Jika pun berkecukupan,
budaya menentukan bahwa suami dan anak laki-laki mendapat porsi yang banyak dan
terbaik dan terakhir sang ibu memakan sisa yang ada. Wanita sejak ia mengalami
menstruasi akan membutuhkan gizi yang lebih banyak dari pria untuk mengganti
darah yang keluar. Zat yang sangat dibutuhkan adalah zat besi yaitu 3 kali
lebih besar dari kebutuhan pria. Di samping itu wanita juga membutuhkan zat
yodium lebih banyak dari pria, kekurangan zat ini akan menyebabkan gondok yang
membahayakan perkembangan janin baik fisik maupun mental. Wanita juga sangat
rawan terhadap beberapa penyakit, termasuk penyakit menular seksual, karena
pekerjaan mereka atau tubuh mereka yang berbeda dengan pria. Salah satu situasi
yang rawan adalah, pekerjaan wanita yang selalu berhubungan dengan air,
misalnya mencuci, memasak, dan sebagainya. Seperti diketahui air adalah media
yang cukup berbahaya dalam penularan bakteri penyakit.
2.2.4 Beban Kerja yang berat.
Wanita bekerja jauh lebih lama dari
pada pria, berbagai penelitian yang telah dilakukan di seluruh dunia rata-rata
wanita bekerja 3 jam lebih lama. Akibatnya wanita mempunyai sedikit waktu
istirahat, lebih lanjut terjadinya kelelahan kronis, stress, dan sebagainya.
Kesehatan wanita tidak hanya dipengaruhi oleh waktu kerja, tetapi juga jenis
pekerjaan yang berat, kotor dan monoton bahkan membahayakan. Di India banyak
kasus keguguran atau kelahiran sebelum waktunya pada musim panen karena wanita
terus-terusan bekerja keras. Dibidang pertanian baik pria maupun wanita dapat
terserang efek dari zat kimia (peptisida), tetapi akan lebih berbahaya jika
wanita dalam keadaan hamil, karena akan berpengaruh terhadap janin dalam
kandungannya. Resiko-resiko yang harus dialami bila wanita bekerja di
industri-industri misalnya panas yang berlebihlebihan, berisik, dan cahaya yang
menyilaukan, bahan kimia, atau radiasi.
Peran jender yang menganggap status
wanita yang rendah berakumulasi dengan indikator-indikator lain seperti
kemiskinan, pendidikan, kawin muda dan beban kerja yang berat mengakibatkan
wanita juga kekurangan waktu, informasi, untuk memperhatikan kesehatan
reproduksinya.
2.3 Wanita Di Tempat Kerja
Sebagaian besar perempuan bekerja
keras setiap hari, memasak, membersihkan rumah demi kelangsungan hidup
keluarga. Namun jika perempuan juga bekerja di luar rumah (mencari
penghasilan), maka beban kerjanya menjadi rangkap. Beban kerja yang terlalu
berat membuat seorang perempuan mengalami kecapekan dan mudah terserang
penyakit. Terlebih lagi bila seorang perempuan tidak punya cukup waktu untuk
istirahat dan tidak memperoleh cukup perhatian akan kondisi kesehatannya.
2.3.1
Permasalahan wanita di tempat kerja
Kesehatan reproduksi menjadi cukup
serius sepanjang hidup, terutama bagi perempuan, selain karena rawan terpapar
penyakit, juga berhubungan dengan kehidupan sosialnya, misalnya kurangnya
pendldikan yang cukup, kawin muda, kematian ibu, masalah kesehatan reproduksi
perempuan, masalah kesehatan kerja, menopause, dan masalah gizi (Baso dan
Raharjo, 1999).
Kebijakan yang memihak pada kepentingan wanita belum secara otomatis
memberdayakan wanita sehingga mempunyai posisi tawar yang sejahtera dan adil
dengan laki-laki di bidang pekerjaan (sektor publik). Kaum wanita masih
terperangkap ke dalam jenis pekerjaan yang berketrampilan dan berupah rendah.
Pembagian kerja dan streotipe di dalm keluarga telah menyebabkan tidak saja beban
berlebihan dan jam kerja panjang bagi wanita, tapi juga ketergantungan wanita
secara ekonomi.
Berbagai masalah banyak terjadi pada wanita di tempat kerja antara lain
adalah kekerasan. Kekerasan yang dilakukan diperoleh dari atasan, atau satu
rekan.
Kekerasan pada wanita di tempat kerja menimbulkan dampak negatif bagi
wanita. Namun, kasus kekerasan yang terjadi belum semua dapat diatasi. Berbagai
layanan untuk mengatasi kekerasan telah dibuat agar tindak kekerasan bisa
diminimkan atau dihapuskan.
Masalah yang terjadi berupa kekerasan. NIOSH (national Institude Of
Occupational Safety and Health) = lembaga nasional kesehatan dan keselamatan
kerja Amerika Serikat mendefenisikan kekerasan di tempat kerja sebagai tindak
kekerasan (termasuk ancaman, kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan
psikologi dan kekerasan ekonomi) yang ditujukan kepada seseorang yang sedang
bekerja atau sedang bertugas.
Kekerasan di tempat kerja digolongkan menjadi beberapa kategori :
Tipe1 : kekerasan
yang dilakukan oleh penjahat yang tidak memiliki hubungan dengan tempat kerja
yang bertujuan untuk melakukan perampokan atau kejahatan lainnya.
Tipe 2 : kekerasan
pada pekerja oleh pelanggaran klien, pasien, murid, atau pun oleh
orang yang diberikan jasanya oleh perusahaan.
Tipe 3 : kekerasan
yang dilakukan oleh sesama pekerja, supervisor atau manager yang masih bekerja
ataupun mantan pekerja.
Tipe 4 : kekerasan
yang dilakukan di tempat pekerja oleh orang yang tidak bekerja disana, namun
mempunyai hubungan dengan pemberi kerja, seperti kerabat dan teman yang suka
mnyiksa.
Bentuk-bentuk
kekerasan :
1.
kekerasan fisik
2.
kekerasan seksual
3.
kekerasan psikologi
4.
kekerasan ekonomi
1.
Kekerasan Fisik
Berupa memukul, menjambak, menampar, membunuh,
serangan fisik, menendang, menggigit, meludahi, mencakar, meremas, mencubit,
menimbulkan stress, luka pada tubuh, infeksi dsb.
2.
Kekerasan Seksual
Berupa pelecehan seksual dan pemerkosaan. Akibat
yang ditimbulkan adalah stress/ trauma, gila, infeksi alat kelamin, bunuh diri,
menjadi PSK, perkawinan tidak harmonis dsb.
3.
Kekerasan Psikologis
Berupa dibentak, dimarahi, diancam, merendahkan
suku /bangsa, pengasingan dari pergaulan, menyinggung, mengganggu dengan alat
kerja, sumpah serapah, sikap bermusuhan, teriakan. Akibat yang ditimbulkan
stress, sulit tidur, tertekan batin, hancur percaya diri dan cenderung curiga.
4.
Kekerasan Ekonomi
Berupa PHK, tidak
diberi gaji, dirampok. Dampak yang ditimbulkan dapat meyebabkan pemberontakan
yang berujung melakukan demonstrasi, stress, gila dsb.
2.3.2 Peran Wanita Di Tempat Kerja
Peran wanita sebagai tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas
memberikan kontibusi yang cukup signifikan. Peran wanita dimulai semenjak
mengenal alam dan bercocok tanam. Sejak itu, mulai berkembang pembagian kerja
yang nyata antara laki-laki dan wanita pada beragam pekerjaan baik di dalam
rumah tangga maupun di masyarakat luas. Wanita mempunyai peran ganda, yaitu :
sebagai pembina rumah tangga dan pencari nafkah.
Keterlibatan wanita di bidang pekerjaaan sering tidak diperhitungkan. Besar
upah yang diterima wanita lebih rendah daripada laki-laki. Dengan tingkat
pendidikan yang sama. Pekerja wanita hanya menerima sekitar 50 % sampai 80%
upah yang diterima laki-laki. Selain itu, banyak wanita yang bekerja sebagai buruh
lepas atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah.
Mereka tidak memperoleh perlibdungan hukum dan kesejahteraan.
Faktor-faktor yg berpengaruh terhadap pendapatan tenaga kerja wanita :
·
Curahan tenaga kerja
·
Tingkat upah
·
Umur
·
Pendidikan
·
Pengalaman kerja
Wanita bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi
keluarga yang demikian sulit, sehingga harus dapat menutup segala kekurangan
dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga.
Berbagai motivasi wanita untuk bekerja :
Suami tidak bekerja/ pendapatannya kurang
Ingin mencari uang sendiri
Mengisi waktu luang
Mencari pengalaman
Mengaktualisasi diri
Ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga
Kemajuan sains dan teknologi serta proses globalisasi yang amat pesat,
membawa perubahan yang mendasar dalam segala aspek kehidupan. Tetapi wanita
menghadapi kendala besar karena masih ketinggalan berbagai bidang. Keadaan ini
sangat merugikan wanita dalam memanfaatkan peluang kerja yang tersedia, juga
dalam melaksanakan perannya sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya.
Berbagai program yang bertujuan meningkatkan peranan tenaga kerja wanita :
·
Program peningkatan produktivitas kerja tenaga kerja wanita melalui
kesejahteraan terpadu
·
Perluasan kesempatan kerja melalui kelompok usaha-usaha bersama (koperasi
kecil)
·
Peningkatan perlindungan dan keselamatan kerja
·
Pembinaan sektor informal
·
Latihan kerja tenaga kerja wanita
·
Pengembangan kehidupan koperasi di kalangan wanita
Hak-hak wanita di
tempat kerja :
1. Perlindungan
pada masa haid dalam masa ini wanita tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama
dan kedua pada waktu haid dengan ketentuan merasa sakit, dan dengan izin
perusahaan.
2. Perlindungan
sebelum dan sesudah melahirkan Pekerja wanita berhak istirahat 1,5 bulan
sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan (berdasarkan
perkiraan dokter/bidan)
3. Perlindungan
sesudah gugur kandungan Pekerja wanita diberi waktu istirahat 1,5 bulan sesudah
gugur kandung (berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan)
4. Kesempatan
untuk menyusui bayi Pekerja wanita diberikan kesempatan yang patut untuk
menyusui anaknya jika harus dilakukan selama waktu kerja. Namun, lamanya waktu
yang diberikan dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan
kondisi dan kemampuan perusahaan.
5. Larangan
kerja malam bagi wanita hamil Pekerja wanita yang sedang mengandung dilarang
bekerja antara pukul 23.00-07.00, jika menurut keterangan dokter hal itu
berbahaya bagi dirinya dan kandungannya Larangan mempekerjakan wanita usia di
bawah 18 tahun pada malam hari
6. Larangan
PHK bagi pekerja wanita karena hamil, melahirkan, dan menyusui
7. Pengusaha
wajib memberikan perlindungan wanita usia di atas 18 tahun saat bekerja di
malam hari. Perusahaan yang mempekerjakan wanita di malam hari berkewajiban
memberi makan dan minum yang bergizi (1400 kalori), menjaga kesusilaan dan
keamanan, menyediakan angkutan antar jemput.
8. Wanita
memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penempatan
9. Adanya
pengupahan yang sama bagi pekerja pria dan wanita untuk pekerjaan yang sama
nilainya termasuk tunnjangan keluarga
10. Adanya
kesempatan yang sama untuk memperoleh pelatihan dan promosi jabatan
11. Adanya
hak yang sama untuk memperoleh jaminan sosial, seperti pensiun, dan sakit.
2.3.3 Upaya Mengatasi Masalah Wanita Di
Tempat Kerja
Layanan Yang
Disediakan Oleh Masyarakat
Organisasi pengada layanan crisis center sebagai tempat yang dapat menerima
pengaduan dan melayani kebutuhan korban untuk mendapatkan dampingan psikologik atau
jasa mendampingi atau menemani manakala para korban perlu ke rumah sakir untuk
mendapatkan perawatan medik atau ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian
yang dialaminya.
Layanan shelter atau rumah aman yaitu suatu tempat yang dirahasiakan untuk
menampung sementara waktu para korban dan anak-anaknya selama kasusnya
ditangani.
Layanan botlines adalah menyediakan kemudahan bagi korban yang meski sudah
ingin memaparkan persoalan kekerasan yang dihadapi, tetapi belum mampu untuk
bertatap muka untuk membicarakan persoalannya dengan orang lain.
Layanan Berbasis Komunitas
Adalah
layanan yang dilakukan oleh individu atau organisasi secara langsung di dalam
komunitas. Kekuatan dari layanan berbasis komunitas ini berupaya untuk
memperkuat posisi korbanjuga untuk mencoba membangun kekuatan komunitas untuk
dapat menangani perkara kekerasan terhadap wanita karena layanan bersifat
proaktif sehingga lebih fleksibel.
Layanan Berbasis Rumah Sakit
Ruang
pelayanan khusus merupakan suatu tempat pelayanan bagi wanita korban kekerasan
yang berada dalam organisasi kepolisian berupa ruangan tetutup dan nyaman di
kesatuan polri diaman wanita dan anak korban kekerasan dapat melaporkan
kasusnya dengan aman kepada polisi.
Prosedur/ tata cara
kerja :
1.
Menerima laporan/ pengaduan/ korban kekerasan ditangani oleh polisi. Dibuat
laporan polisi
2.
Kasus yang tidak memenuhi unsur pidana dilakukan upaya konseling atau
kerjasama dengan fungsi lain di lingkungan polri, instansi terkait dan mitra
kerja/ LSM
3.
Kasus memenuhi unsur pidana digunakan jalur tugas serse sesuai KUHAP
4.
Diperlukan kooordinasi yang harmonis antara pembina kedua fungsi (serse dan
yanmas)
5.
Penangan ditarik dari polsek ke RPK polres apabila jarak masih dapat
dijangkau
6.
Tetap berpedoman pada hubungan tatacara kerja yang berlaku di lingkungan
polri
7.
Apabila memerlukan perlindungan dan pendampingan lebih lanjut RPK dapat
bekerja sama dengan mitra kerja/LSM / organisasi yang lain memiliki fasilitas
bantuan sesuai dengan kebutuhan korban
Pelayanan Terpadu
Rumah Sakit
1.
Rumah sakit : dokter spesialis, dokter umum, psikiater, perawat dan bidan
2.
Lembaga konseling : psikolog, pekerja sosial, konselor, pengelola selter
3.
Hukum : pengacara, kepolisian, lembaga bantuan hukum, Woman Crisis Center,
Organisasi Advokasi Haka Wanita /selter
Undang-undang yang mengatur kekerasan terhadap wanita disebut DEKLARASI
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP WANITA yang diproklamasikan oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 20 Desember 1993 terdiri dari 6 pasal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekerasan merupakan salah satu masalah yang terjadi pada wanita di tempat
kerja, kekerasan seksual, kekerasan psikologi, dan kekerasan ekonomi. Wanita di
tempat kerja mempunyai peran ganda yaitu : sebagai pembina rumah tangga dan
pencari nafkah. Keterlibatan wanita di bidang pekerjaan sering tidak
diperhitungkan. Besar upah wanita telah rendah dari laki-laki meskipun tingkat
pendidikannya sama.
Upaya yang
dilakukan untuk mengatasi masalah wanita di tempat kerja adalah berupa layanan
yang disediakan oleh masyarakat, layanan berbasis komunitas, layanan berbasis rumah
sakit. Dengan adanya lembaga ini diharapkan kekerasan wanita di tempat kerja
dapat dikurangi atau dihindarkan.
3.2
Saran
1.
Melakukan sosialisasi di dalam keluarga yang seimbang, dalam kajian feminis
dikenal sosialisasi androgini kepada anak laki-laki dan perempuan. Semua hal
tersebut diarahkan untuk kemandirian sebagai manusia.
2.
Melakukan dekonstruksi bias gender di bidang pendidikan, dalam buku teks
dan
persamaan
kesempatan pendidikan tanpa memandang stereotipe.
3. Melakukan dekonstruksi pada nilai-nilai
patriarkhi dalam konteks negara.
4.
Melakukan reinterpretasi terhadap kitab
suci.
5.
Mendukung visi Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan yaitu terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender.
6.
Mendukung misi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu:
Ø Peningkatan
kualitas hidup perempuan
Ø Penggalakan
sosialisasi kesetaraan gender
Ø
Penghapusan segala bentuk tindak
kekerasan terhadap perempuan
Ø Penegakan
hak asasi manusia (HAM) bagi perempuan
Ø Peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan anak; serta
Ø Pemampuan
dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan dan peduli anak
7.
Disarankan perlunya upaya penyuluhan mengenai
kesehatan reproduksi pada kelompok-kelompok tertentu yaitu wanita yang berkerja
di sektor informal.
DAFTAR
PUSTAKA
Koblinsky
Marge, dkk. 1997. Kesehatan Wanita Sebuah
Prespektif Global. Gadjah Mada University
Press : Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar