Selasa, 01 April 2014

kesehatan reproduksi ( wanita di dunia kerja)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Secara normatif  wanita mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam segala bidang kehidupan dan bidang pembangunan seperti yang tercantum dalam GBHN, tetapi secara factual persamaan tersebut saat ini belum terwujud, diantaranya di bidang kesehatan. Masih banyak wanita yang mengalami diskriminasi dalam bidang kesehatan, umpamanya: pembedaan pemberian makanan bergizi pada anak laki-laki dan wanita, akses informasi, dan akses pelayanan kesehatan dan sebagainya.
Kaum perempuan menghadapi beragam masalah dalam mengakses pendidikan dan pelatihan, dalam mendapatkan pekerjaan, dan dalam memperoleh perlakuan yang sama di tempat kerja. Kendala-kendala ini dapat menimbulkan pelanggaran akan hak-hak dasar serta menghambat kesempatan kaum perempuan dan pada gilirannya akan merugikan masyarakat dan perekonomian Indonesia mengingat hilangnya kontribusi besar yang dapat diberikan kaum perempuan melalui tempat kerja.
Data menunjukkan bahwa setiap negara kecuali Australia, Kanada, dan Amerika, wanita bekerja lebih lama aripada pria (UNDIESA,1991b). Waktu kerja yang digunakan untuk mencari penghasilan atau untuk memproduksi bahan pangan jarang diimbangi dengan pengurangan beban kerja di rumah. Studi mengenai alokasi waktu mendukung perdebatan bahwa wanita diseluruh dunia tetap memikul tanggungjawab perawatan anak dan pekerjaan rumah secara eksklusif (Argarwal et al, 1990). Selanjutnya, perbedaan gender dalam hal total waktu kerja paling besar ditemukan pada kelompok masyarakat miskin. Disebagian negara berkembang, rata-rata wanita bekerja 12-18 jam per hari, sedangkan pria bekerja selama 10-12 jam. Wanita masih pula dibebani dengan berbagai peran dalam keluarga, yaitu sebagai pemelihara,pendidik,penyuluh kesehatan, dan pencari penghasilan (Argawal et al, 1990).
            Hal ini masih terbukti masih tingginya angka kematian ibu yaitu 228/100.000 kelahiran hidup. Tingginya angka kematian ibu, disinyalir penyebab utamanya adalah perdarahan, infeksi, dan toksemia dan penyebab tak langsung adalah kemiskinan, tradisi sosial budaya, status gizi yang tidak memadai dan kurangnya akses pemanfaatan dan fasilitas kesehatan serta rendahnya status wanita. Masalah kesehatan reproduksi wanita ini tidak terlepas dari faktor sosial, budaya dan ekonomi secara keseluruhan.
             ILO (International Labour Organization)  telah mengembangkan beragam program untuk menyikapi permasalahan gender di dunia kerja dalam bentuk konvensi-konvensi ILO tentang kesetaraan gender di dunia kerja. Sebagian besar Konvensi dan Rekomendasi menerapkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Namun demikian beberapa Konvensi secara khusus memberi perhatian pada masalah yang dialami oleh pekerja perempuan. Standar ILO menjadi katalisastor  bagi tata ekonomi yang baru dan norma-norma hukum yang berdampak kepada pekerja perempuan sebagai berikut: kesetaraan upah, diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan,  perlindungan kehamilan, pekerja dengan tanggung jawab keluarga,  aturan-aturan tertentu terkait dengan kerja malam, bawah tanah dan paruh waktu serta isu-isu kesehatan lainnya.
Meihat situasi di atas  diperlukan usaha-usaha yang lebih sederhana, lebih mudah terjangkau, lebih sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat, dan juga mengikut sertakan masyarakat secara umum dan terpadu. Hal yang lebih penting dalam memasyarakatkan kesehatan reproduksi ini adalah kesadaran dan motivasi masyarakat sendiri (terutama pihak wanita) yang menjaga kesehatan reproduksinya.
Artinya hal ini membawa pemikiran baru untuk mengefektifkan serta mengintensifkan pelaksanaan berdasarkan kesadaran masyarakat dan kebutuhannya sendiri. Terobosan dan strategi bagaimana memasyarakatkan program kesehatan reproduksi khususnya reproduksi wanita tanpa arahan atau paksaan.























BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Definisi Kesehatan Reproduksi Wanita.
Berdasarkan Konferensi Wanita sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan Koperensi Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994 sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi tersebut. Dalam hal ini (Cholil,1996) menyimpulkan bahwa terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu :
 Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health)
  • Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making)
  • Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women)
  • Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security)
 Adapun definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telah diterima secara internasional yaitu : sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan kelahiran anak mereka.
2.1.1       Konsep Pemikiran Tentang Kesehatan Reproduksi Wanita
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. Demi tercapainya derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima kesehatan, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasi muda. Oleh sebab itu wanita, seyogyanya diberi perhatian sebab :
  1. Wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria berkaitan dengan fungsi reproduksinya
  2. Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yang dikandung dan dilahirkan.
  3. Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai objek dengan mengatas namakan “pembangunan” seperti program KB, dan pengendalian jumlah penduduk.
  4. Masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda Intemasional diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai kesehatan reproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo).
 Berdasarkan pemikiran di atas kesehatan wanita merupakan aspek paling penting disebabkan pengaruhnya pada kesehatan anak-anak. Oleh sebab itu pada wanita diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya sendiri.
2.1.2       Pandangan Masyarakat terhadap Kesehatan Reproduksi Wanita.
Dalam diskusi kelompok terarah (DKT) yang berkenaan dengan kesehatan reproduksi wanita, sebenarnya pandangan masyarakat terhadap hal tersebut. Kesehatan alat reproduksi sebenarnya bukanlah penting menurut mereka. Juga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa peristiwa mulai dari haid sampai perkawinan, hamil, melahirkan atau segala yang berkaitan dengan alat kelamin wanita adalah peristiwa alamiah dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Pandangan yang telah berurat berakar baik pada kelompok wanita dan masyarakat tidak terlepas dari peran jender wanita yang disosialisasikan bahwa wanita haru mendahulukan kepentingan-kepentingan di luar dirinya, dan bahkan sering mengabaikan kesehatannya sendiri.
Definisi sehat dan sakit dalam pengertian masyarakat desa berbeda dengan pengertian medis. Pengertian medis yang menyatakan sakit adalah terganggunya salah satu organ tubuh dalam menjalankan fungsinya, dianggap masyarakat bukanlah sakit sepanjang masih dapat berjalan dan melakukan kegiatan seperti biasa. Berkaitan dengan kesehatan reproduksi wanita, masyarakat beranggapan bahwa hal tersebut merupakan masalah “pribadi” yang bersangkutan.
Akibatnya banyak wanita jika mengalami penyakit yang berkaitan dengan alat reproduksinya berusaha mengatasi sendiri, misalnya dengan obat tradisional atau jamu. Padahal masalahnya tidak sesederhana itu, jika penyakitnya sudah parah barulah mereka mencari pertolongan dokter, atau bidan.
Hal lain yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi wanita, adalah mengenai kegiatan ber-KB. Masyarakat termasuk wanita yang .berusia subur beranggapan bahwa yang ber-KB adalah wanita. Meskipun laki-laki pun dapat ber-KB misalnya dengan metode vasektomi, tetapi baik wanita maupun laki-laki sama-sama keberatan.
Alasan wanita adalah suami adalah tulang punggung keluarga dalam rnencari ekonomi rumah tangga. Jika terjadi apa-apa (misalnya suami sakit gara-gara ber-KB), siapa yang menangung biaya rumah tangga? Dalam hal ini wanita “mengalah” membiarkan dirinya ber-KB, meskipun kadangkala kesehatan tidak mengizinkan atau alat kontrasepsi sering tidak cocok. Alasan bagi laki-laki enggan ber-KB adalah dengan mendengar “issue” mereka akan mengalami kehilangan gairah seksual. Dengan asumsi seperti ini memang sukar menghilangkan “dogma” tersebut dalam
Pandangan lain yang sehubungan dengan kesehatan reproduksi wanita adanya sebaiknya dalam memeriksa adalah dokter, bidan atau petugas sesame wanita juga. Sebagian responden mengakui bahwa suami mereka menghendaki jika istri mereka terpaksa berobat ke puskesmas atau rumah sakit, terlebih dahulu cari dokter, bidan atau petugas kesehatan sesama wanita. Alasannya sangat janggal kalau alat reproduksi wanita “dilihat” oleh orang lain apalagi laki-laki lain. Kalau melahirkan masih dapat dimaafkan, tetapi kalau sekedar berobat atau memeriksa kehamilan sebaiknya dengan petugas sesama wanita.
2.2       Indikator Permasalahan Kesehatan Reproduksi Wanita.
Dalam pengertian kesehatan reproduksi secara lebih mendalam, bukan semata-mata sebagai pengertian klinis (kedokteran) saja tetapi juga mencakup pengertian sosial (masyarakat). Intinya goal kesehatan secara menyeluruh bahwa kualitas hidupnya sangat baik. Namun, kondisi sosial dan ekonomi terutama di negara-negara berkembang yang kualitas hidup dan kemiskinan memburuk, secara tidak langsung memperburuk pula kesehatan reproduksi wanita. Indikator-indikator permasalahan kesehatan reproduksi wanita di Indonesia antara lain:
  1. Jender, adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya yang berbeda-beda. Jender sebagai suatu kontruksi social mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
  2. Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
    • Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
    • Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak.
    • Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
 2.2.1    Pendidikan yang rendah.
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
2.2.2 Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan Yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Disamping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.

2.2.3    Kekurangan gizi dan Kesehatan yang buruk.
Menurut WHO di negara berkembang terrnasuk Indonesia diperkirakan 450 juta wanita tumbuh tidak sempurna karena kurang gizi pada masa kanak-kanak, akibat kemiskinan. Jika pun berkecukupan, budaya menentukan bahwa suami dan anak laki-laki mendapat porsi yang banyak dan terbaik dan terakhir sang ibu memakan sisa yang ada. Wanita sejak ia mengalami menstruasi akan membutuhkan gizi yang lebih banyak dari pria untuk mengganti darah yang keluar. Zat yang sangat dibutuhkan adalah zat besi yaitu 3 kali lebih besar dari kebutuhan pria. Di samping itu wanita juga membutuhkan zat yodium lebih banyak dari pria, kekurangan zat ini akan menyebabkan gondok yang membahayakan perkembangan janin baik fisik maupun mental. Wanita juga sangat rawan terhadap beberapa penyakit, termasuk penyakit menular seksual, karena pekerjaan mereka atau tubuh mereka yang berbeda dengan pria. Salah satu situasi yang rawan adalah, pekerjaan wanita yang selalu berhubungan dengan air, misalnya mencuci, memasak, dan sebagainya. Seperti diketahui air adalah media yang cukup berbahaya dalam penularan bakteri penyakit.

2.2.4    Beban Kerja yang berat.
Wanita bekerja jauh lebih lama dari pada pria, berbagai penelitian yang telah dilakukan di seluruh dunia rata-rata wanita bekerja 3 jam lebih lama. Akibatnya wanita mempunyai sedikit waktu istirahat, lebih lanjut terjadinya kelelahan kronis, stress, dan sebagainya. Kesehatan wanita tidak hanya dipengaruhi oleh waktu kerja, tetapi juga jenis pekerjaan yang berat, kotor dan monoton bahkan membahayakan. Di India banyak kasus keguguran atau kelahiran sebelum waktunya pada musim panen karena wanita terus-terusan bekerja keras. Dibidang pertanian baik pria maupun wanita dapat terserang efek dari zat kimia (peptisida), tetapi akan lebih berbahaya jika wanita dalam keadaan hamil, karena akan berpengaruh terhadap janin dalam kandungannya. Resiko-resiko yang harus dialami bila wanita bekerja di industri-industri misalnya panas yang berlebihlebihan, berisik, dan cahaya yang menyilaukan, bahan kimia, atau radiasi.
Peran jender yang menganggap status wanita yang rendah berakumulasi dengan indikator-indikator lain seperti kemiskinan, pendidikan, kawin muda dan beban kerja yang berat mengakibatkan wanita juga kekurangan waktu, informasi, untuk memperhatikan kesehatan reproduksinya.



2.3       Wanita Di Tempat Kerja
Sebagaian besar perempuan bekerja keras setiap hari, memasak, membersihkan rumah demi kelangsungan hidup keluarga. Namun jika perempuan juga bekerja di luar rumah (mencari penghasilan), maka beban kerjanya menjadi rangkap. Beban kerja yang terlalu berat membuat seorang perempuan mengalami kecapekan dan mudah terserang penyakit. Terlebih lagi bila seorang perempuan tidak punya cukup waktu untuk istirahat dan tidak memperoleh cukup perhatian akan kondisi kesehatannya.
2.3.1 Permasalahan wanita di tempat kerja
Kesehatan reproduksi menjadi cukup serius sepanjang hidup, terutama bagi perempuan, selain karena rawan terpapar penyakit, juga berhubungan dengan kehidupan sosialnya, misalnya kurangnya pendldikan yang cukup, kawin muda, kematian ibu, masalah kesehatan reproduksi perempuan, masalah kesehatan kerja, menopause, dan masalah gizi (Baso dan Raharjo, 1999).
Kebijakan yang memihak pada kepentingan wanita belum secara otomatis memberdayakan wanita sehingga mempunyai posisi tawar yang sejahtera dan adil dengan laki-laki di bidang pekerjaan (sektor publik). Kaum wanita masih terperangkap ke dalam jenis pekerjaan yang berketrampilan dan berupah rendah. Pembagian kerja dan streotipe di dalm keluarga telah menyebabkan tidak saja beban berlebihan dan jam kerja panjang bagi wanita, tapi juga ketergantungan wanita secara ekonomi.
Berbagai masalah banyak terjadi pada wanita di tempat kerja antara lain adalah kekerasan. Kekerasan yang dilakukan diperoleh dari atasan, atau satu rekan.
Kekerasan pada wanita di tempat kerja menimbulkan dampak negatif bagi wanita. Namun, kasus kekerasan yang terjadi belum semua dapat diatasi. Berbagai layanan untuk mengatasi kekerasan telah dibuat agar tindak kekerasan bisa diminimkan atau dihapuskan.
Masalah yang terjadi berupa kekerasan. NIOSH (national Institude Of Occupational Safety and Health) = lembaga nasional kesehatan dan keselamatan kerja Amerika Serikat mendefenisikan kekerasan di tempat kerja sebagai tindak kekerasan (termasuk ancaman, kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologi dan kekerasan ekonomi) yang ditujukan kepada seseorang yang sedang bekerja atau sedang bertugas.
Kekerasan di tempat kerja digolongkan menjadi beberapa kategori :
Tipe1 : kekerasan yang dilakukan oleh penjahat yang tidak memiliki hubungan dengan tempat kerja yang bertujuan untuk melakukan perampokan atau kejahatan lainnya.

Tipe 2 : kekerasan pada pekerja oleh pelanggaran klien, pasien,  murid, atau pun oleh orang                yang diberikan jasanya oleh perusahaan.

Tipe 3 : kekerasan yang dilakukan oleh sesama pekerja, supervisor atau manager yang masih bekerja ataupun mantan pekerja.

Tipe 4 : kekerasan yang dilakukan di tempat pekerja oleh orang yang tidak bekerja disana, namun mempunyai hubungan dengan pemberi kerja, seperti kerabat dan teman yang suka mnyiksa.

            Bentuk-bentuk kekerasan :
1.                  kekerasan fisik
2.                  kekerasan seksual
3.                  kekerasan psikologi
4.                  kekerasan ekonomi

1.                  Kekerasan Fisik
Berupa memukul, menjambak, menampar, membunuh, serangan fisik, menendang, menggigit, meludahi, mencakar, meremas, mencubit, menimbulkan stress, luka pada tubuh, infeksi dsb.
2.                  Kekerasan Seksual
Berupa pelecehan seksual dan pemerkosaan. Akibat yang ditimbulkan adalah stress/ trauma, gila, infeksi alat kelamin, bunuh diri, menjadi PSK, perkawinan tidak harmonis dsb.
3.                  Kekerasan Psikologis
Berupa dibentak, dimarahi, diancam, merendahkan suku /bangsa, pengasingan dari pergaulan, menyinggung, mengganggu dengan alat kerja, sumpah serapah, sikap bermusuhan, teriakan. Akibat yang ditimbulkan stress, sulit tidur, tertekan batin, hancur percaya diri dan cenderung curiga.
4.                  Kekerasan Ekonomi
Berupa PHK, tidak diberi gaji, dirampok. Dampak yang ditimbulkan dapat meyebabkan pemberontakan yang berujung melakukan demonstrasi, stress, gila dsb.

2.3.2 Peran Wanita Di Tempat Kerja
Peran wanita sebagai tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas memberikan kontibusi yang cukup signifikan. Peran wanita dimulai semenjak mengenal alam dan bercocok tanam. Sejak itu, mulai berkembang pembagian kerja yang nyata antara laki-laki dan wanita pada beragam pekerjaan baik di dalam rumah tangga maupun di masyarakat luas. Wanita mempunyai peran ganda, yaitu : sebagai pembina rumah tangga dan pencari nafkah.
Keterlibatan wanita di bidang pekerjaaan sering tidak diperhitungkan. Besar upah yang diterima wanita lebih rendah daripada laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang sama. Pekerja wanita hanya menerima sekitar 50 % sampai 80% upah yang diterima laki-laki. Selain itu, banyak wanita yang bekerja sebagai buruh lepas atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlibdungan hukum dan kesejahteraan.
Faktor-faktor yg berpengaruh terhadap pendapatan tenaga kerja wanita :
·         Curahan tenaga kerja
·         Tingkat upah
·         Umur
·         Pendidikan
·         Pengalaman kerja
Wanita bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi keluarga yang demikian sulit, sehingga harus dapat menutup segala kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga.
Berbagai motivasi wanita untuk bekerja :
        Suami tidak bekerja/ pendapatannya kurang
        Ingin mencari uang sendiri
        Mengisi waktu luang
        Mencari pengalaman
        Mengaktualisasi diri
        Ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga

Kemajuan sains dan teknologi serta proses globalisasi yang amat pesat, membawa perubahan yang mendasar dalam segala aspek kehidupan. Tetapi wanita menghadapi kendala besar karena masih ketinggalan berbagai bidang. Keadaan ini sangat merugikan wanita dalam memanfaatkan peluang kerja yang tersedia, juga dalam melaksanakan perannya sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya.
Berbagai program yang bertujuan meningkatkan peranan tenaga kerja wanita :
·         Program peningkatan produktivitas kerja tenaga kerja wanita melalui kesejahteraan terpadu
·         Perluasan kesempatan kerja melalui kelompok usaha-usaha bersama (koperasi kecil)
·         Peningkatan perlindungan dan keselamatan kerja
·         Pembinaan sektor informal
·         Latihan kerja tenaga kerja wanita
·         Pengembangan kehidupan koperasi di kalangan wanita

 Hak-hak wanita di tempat kerja :
1.        Perlindungan pada masa haid dalam masa ini wanita tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan ketentuan merasa sakit, dan dengan izin perusahaan.
2.        Perlindungan sebelum dan sesudah melahirkan Pekerja wanita berhak istirahat 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan (berdasarkan perkiraan dokter/bidan)
3.        Perlindungan sesudah gugur kandungan Pekerja wanita diberi waktu istirahat 1,5 bulan sesudah gugur kandung (berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan)
4.        Kesempatan untuk menyusui bayi Pekerja wanita diberikan kesempatan yang patut untuk menyusui anaknya jika harus dilakukan selama waktu kerja. Namun, lamanya waktu yang diberikan dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.
5.        Larangan kerja malam bagi wanita hamil Pekerja wanita yang sedang mengandung dilarang bekerja antara pukul 23.00-07.00, jika menurut keterangan dokter hal itu berbahaya bagi dirinya dan kandungannya Larangan mempekerjakan wanita usia di bawah 18 tahun pada malam hari
6.        Larangan PHK bagi pekerja wanita karena hamil, melahirkan, dan menyusui
7.        Pengusaha wajib memberikan perlindungan wanita usia di atas 18 tahun saat bekerja di malam hari. Perusahaan yang mempekerjakan wanita di malam hari berkewajiban memberi makan dan minum yang bergizi (1400 kalori), menjaga kesusilaan dan keamanan, menyediakan angkutan antar jemput.
8.      Wanita memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penempatan
9.        Adanya pengupahan yang sama bagi pekerja pria dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya termasuk tunnjangan keluarga
10.    Adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pelatihan dan promosi jabatan
11.    Adanya hak yang sama untuk memperoleh jaminan sosial, seperti pensiun, dan sakit.

2.3.3  Upaya Mengatasi Masalah Wanita Di Tempat Kerja
Layanan Yang Disediakan Oleh Masyarakat
Organisasi pengada layanan crisis center sebagai tempat yang dapat menerima pengaduan dan melayani kebutuhan korban untuk mendapatkan dampingan psikologik atau jasa mendampingi atau menemani manakala para korban perlu ke rumah sakir untuk mendapatkan perawatan medik atau ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian yang dialaminya.
Layanan shelter atau rumah aman yaitu suatu tempat yang dirahasiakan untuk menampung sementara waktu para korban dan anak-anaknya selama kasusnya ditangani.
Layanan botlines adalah menyediakan kemudahan bagi korban yang meski sudah ingin memaparkan persoalan kekerasan yang dihadapi, tetapi belum mampu untuk bertatap muka untuk membicarakan persoalannya dengan orang lain.
                               
            Layanan Berbasis Komunitas
            Adalah layanan yang dilakukan oleh individu atau organisasi secara langsung di dalam komunitas. Kekuatan dari layanan berbasis komunitas ini berupaya untuk memperkuat posisi korbanjuga untuk mencoba membangun kekuatan komunitas untuk dapat menangani perkara kekerasan terhadap wanita karena layanan bersifat proaktif sehingga lebih fleksibel.





            Layanan Berbasis Rumah Sakit
            Ruang pelayanan khusus merupakan suatu tempat pelayanan bagi wanita korban kekerasan yang berada dalam organisasi kepolisian berupa ruangan tetutup dan nyaman di kesatuan polri diaman wanita dan anak korban kekerasan dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada polisi.

Prosedur/ tata cara kerja :
1.      Menerima laporan/ pengaduan/ korban kekerasan ditangani oleh polisi. Dibuat laporan polisi
2.      Kasus yang tidak memenuhi unsur pidana dilakukan upaya konseling atau kerjasama dengan fungsi lain di lingkungan polri, instansi terkait dan mitra kerja/ LSM
3.      Kasus memenuhi unsur pidana digunakan jalur tugas serse sesuai KUHAP
4.      Diperlukan kooordinasi yang harmonis antara pembina kedua fungsi (serse dan yanmas)
5.      Penangan ditarik dari polsek ke RPK polres apabila jarak masih dapat dijangkau
6.      Tetap berpedoman pada hubungan tatacara kerja yang berlaku di lingkungan polri
7.      Apabila memerlukan perlindungan dan pendampingan lebih lanjut RPK dapat bekerja sama dengan mitra kerja/LSM / organisasi yang lain memiliki fasilitas bantuan sesuai dengan kebutuhan korban

Pelayanan Terpadu Rumah Sakit
1.      Rumah sakit : dokter spesialis, dokter umum, psikiater, perawat dan bidan
2.      Lembaga konseling : psikolog, pekerja sosial, konselor, pengelola selter
3.      Hukum : pengacara, kepolisian, lembaga bantuan hukum, Woman Crisis Center, Organisasi Advokasi Haka Wanita /selter

Undang-undang yang mengatur kekerasan terhadap wanita disebut DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP WANITA yang diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 1993 terdiri dari 6 pasal.






BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Kekerasan merupakan salah satu masalah yang terjadi pada wanita di tempat kerja, kekerasan seksual, kekerasan psikologi, dan kekerasan ekonomi. Wanita di tempat kerja mempunyai peran ganda yaitu : sebagai pembina rumah tangga dan pencari nafkah. Keterlibatan wanita di bidang pekerjaan sering tidak diperhitungkan. Besar upah wanita telah rendah dari laki-laki meskipun tingkat pendidikannya sama.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah wanita di tempat kerja adalah berupa layanan yang disediakan oleh masyarakat, layanan berbasis komunitas, layanan berbasis rumah sakit. Dengan adanya lembaga ini diharapkan kekerasan wanita di tempat kerja dapat dikurangi atau dihindarkan.
3.2       Saran

1. Melakukan sosialisasi di dalam keluarga yang seimbang, dalam kajian feminis dikenal sosialisasi androgini kepada anak laki-laki dan perempuan. Semua hal tersebut diarahkan untuk kemandirian sebagai manusia.
2. Melakukan dekonstruksi bias gender di bidang pendidikan, dalam buku teks dan                                                                                                                                                                                                             persamaan kesempatan pendidikan tanpa memandang stereotipe.
3.  Melakukan dekonstruksi pada nilai-nilai patriarkhi dalam konteks negara.
4.  Melakukan reinterpretasi terhadap kitab suci.
5.  Mendukung visi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu terwujudnya   
      kesetaraan dan keadilan gender.
6. Mendukung misi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu:
Ø  Peningkatan kualitas hidup perempuan
Ø  Penggalakan sosialisasi kesetaraan gender
Ø  Penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan
Ø  Penegakan hak asasi manusia (HAM) bagi perempuan
Ø  Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak; serta
Ø  Pemampuan dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan dan peduli anak
7.        Disarankan perlunya upaya penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi pada kelompok-kelompok tertentu yaitu wanita yang berkerja di sektor informal.






 
DAFTAR PUSTAKA
Koblinsky Marge, dkk. 1997. Kesehatan Wanita Sebuah Prespektif Global. Gadjah                                Mada University Press : Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar