BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Masalah Maternal di Indonesia dewasa ini adalah masih
tingginya angka kematian ibu (AKI). Periode kehamilan merupakan periode yang
sangat penting dan mempunyai pengaruh yang besar untuk kelangsungan hidup itu
maupun baginya. Kondisi dari seorang ibu menjadi ukuran untuk menilai keadaan
dan masalah kesehatan pada antenatal, intranatal dan posnatal.
Masalah kematian ibu berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2004), angka kematian ibu di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Suatu negara dikatakan maju bukan hanya dilihat dari pembangunan fisiknya saja melainkan dari turunnya angka kematian ibu. Di Papua menurut Badan Pusat Statistik tahun 2006 berkisar 396 per 100.000 kelahiran hidup, bila dibandingkan dengan angka kematian ibu (AKI) secara Nasional, yang jumlahnya sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup, ini menunjukkan bahwa kematian ibu di Papua masih tinggi.
Masalah kematian ibu berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2004), angka kematian ibu di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Suatu negara dikatakan maju bukan hanya dilihat dari pembangunan fisiknya saja melainkan dari turunnya angka kematian ibu. Di Papua menurut Badan Pusat Statistik tahun 2006 berkisar 396 per 100.000 kelahiran hidup, bila dibandingkan dengan angka kematian ibu (AKI) secara Nasional, yang jumlahnya sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup, ini menunjukkan bahwa kematian ibu di Papua masih tinggi.
Banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu
seperti halnya yang terdapat di negara berkembang seperti di Indonesia. Ada 3
faktor penyebab utama kematian ibu yaitu : 1. Penyebab langsung 2. Penyebab
antara, 3. Penyebab tidak langsung.
Penyebab langsung kematian ibu disebabkan oleh perdarahan (30 – 35 %),
infeksi (20 – 25 %), keracunan kehamilan/ preklamsia dan eklamsia (10 – 15 %). Penyebab antara kematian ibu seperti :
Profil wanita (4T hamil terlalu muda, hamil terlalu tua, jarak hamil terlalu
pendek, atau jumlah anak terlalu banyak). Persalinan dukun (70 – 75 %), cakupan internal yang rendah, faktor keterlambatan (3T keterlambatan untuk
memutuskan rujukan, terlambat melakukan rujukan atau terlambat melakukan
pertolongan). Dan penyebab tidak
langsung kematian ibu yaitu faktor status wanita, faktor masyarakat, faktor
keterlambatan. Dengan demikian dapat diperkirakan penyebab utama kematian ibu
adalah perdarahan.
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum. Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum. Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian
maternal secara langsung di Amerika Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap
100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan
sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post partum. Di negara
industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas
penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di
beberapa negara berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap
100.000 kelahiran hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian
maternal disebabkan oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000
kematian matenal tiap tahunnya.
Frekuensi perdarahan post partum yang
dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari
seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara
berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut,
diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa plasenta
(23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %),
kelainan darah (0,5 – 0,8 %).. Insiden perdarahan pasca
persalinan akibat retensio plasenta dilaporkan berkisar 16 sampai 17 % di rumah
sakit umum Haji damanhari barabay selama 3 tahun 1997 – 1999 didapatkan 146
kasus rujukan perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta.
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang
terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah
persalinan abdominal. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk
menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan
disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan
perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat
dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi
> 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL.
Perdarahan post partum dibagi menjadi:
1. Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post
Partum Primer (early postpartum hemorrhage)
Perdarahan post partum dini adalah perdarahan
yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
2. Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post
Partum Sekunder (late postpartum hemorrhage)
Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan
yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah
kala III.
2.2 Etiologi
Penyebab
terjadinya perdarahan post partum antara lain:
-
Atonia uteri
-
Luka jalan lahir
-
Retensio plasenta
-
Gangguan pembekuan darah
A. ATONIA UTERI
Definisi
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium
uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan
post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir
hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan
hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik.
Etiologi
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan
faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat
disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau
abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau
kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di
uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir.
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan
karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila
mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi
kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi
terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat,
beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah,
toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat
hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat
resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan
merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum.
Penatalaksanaan
- Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri
- Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena,
bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
- Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan
kemudian dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil,
dipertahankan selama 24 jam.
- Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran
darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan
hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan
kompresi bimanual internal
- Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan
tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium
(sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi.
Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga
uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi
aorta abdominalis
- Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan
posisi tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus,
tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan
yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi
- Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin /
ergometrin, bisa dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau
langsung pada miometrium (transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat
diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.
- Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan
yang terjadi tetap > 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri
uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita yang belum punya anak atau
muda sekali)
- Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
Bagan 2.1 Penilaian Klinik Atonia Uteri
A.
RETENSIO PLASENTA
Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya
plasenta hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian
besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus
Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
- Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat
dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis.
- Plasenta akreta adalah implantasi jonjot
korion plasenta hingga mencapai sebagian lapisan miometrium
- Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot
korion plasenta hingga mencapai/melewati lapisan miometrium
- Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot
korion plasenta yang menembus lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa
dinding uterus
- Plasenta inkarserata adalah tertahannya
plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri
Tabel 2.2 Gambaran dan dugaan penyebab retensio
plasenta
Gejala
|
Separasi / akreta parsial
|
Plasenta inkarserata
|
Plasenta akreta
|
Konsistensi
uterus
|
Kenyal
|
Keras
|
Cukup
|
Tinggi fundus
|
Sepusat
|
2 jari bawah
pusat
|
Sepusat
|
Bentuk uterus
|
Diskoid
|
Agak globuler
|
Diskoid
|
Perdarahan
|
Sedang-banyak
|
Sedang
|
Sedikit/tidak
ada
|
Tali pusat
|
Terjulur
sebagian
|
Terjulur
|
Tidak
terjulur
|
Ostium uteri
|
Terbuka
|
Konstriksi
|
Terbuka
|
Separasi
plasenta
|
Lepas
sebagian
|
Sudah lepas
|
Melekat
seluruhnya
|
Syok
|
Sering
|
Jarang
|
Jarang sekali
|
Penatalaksanaan
Retensio plasenta dengan separasi parsial
- Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan
tindakan yang akan diambil
- Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila
ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
- Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40
tetes per menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal
(sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul
dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
- Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta,
lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya
perforasi dan perdarahan
- Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
- Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol
1 g supositoria / oral)
- Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat,
infeksi, syok neurogenik
Plasenta inkarserata
- Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan
pemeriksaan
- Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk
menghilangkan konstriksi serviks dan melahirkan plasenta
- Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat,
siapkan infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit
untuk mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi
tersebut
- Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat
dilalui cunam ovum, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk
prosedur ini berikan analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV) dan
sedatif (Diazepam 5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah
Manuver sekrup:
o Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta
tampak dengan jelas
o Jepit porsio dengan klem ovarium pada jam 12, 4 dan 8 kemudian
lepaskan spekulum
o Tarik ketiga klem ovarium agar ostium, tali pusat dan plasenta
tampak lebih jelas
o Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di
sisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin. Minta asisten untuk
memegang klem tersebut
o Lakukan hal yang sama untuk plasenta pada sisi yang berlawanan
o Satukan kedua klem tersebut kemudian sambil diputar searah
jarum jam, tarik plasenta keluar perlahan-lahan melalui pembukaan ostium
- Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda
vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan.
Tambahan pemantauan yang diperlukan adalah pemantauan efek samping atau
komplikasi dari bahan-bahan sedatif, analgetika atau anestesi umum misal: mual,
muntah, hipo/atonia uteri, pusing/vertigo, halusinasi, mengantuk
Plasenta akreta
- Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah
ikutnya fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam
sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam
- Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar
adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit
rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif
Bagan 2.3 Penilaian Klinik Plasenta Akreta
C. SISA PLASENTA
- Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta
dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali
lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang
ke rumah dan subinvolusi uterus
- Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala
metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV
dilanjutkan 3 x 1 g oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria
dilanjutkan 3 x 500 mg oral
- Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh
instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase
- Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar
Hb > 8 g/dL, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10
hari
D. LASERASI JALAN LAHIR
Klasifikasi
- Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam:
o Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina
atau kulit perineum
o Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke
vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital
o Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang
menyebabkan muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan
- Robekan serviks
Faktor Resiko
- Makrosomia
- Malpresentasi
- Partus presipitatus
- Distosi
Penatalaksanaan
a. Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
- Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan
sumber perdarahan
- Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
- Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap
- Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal
dari operator
- Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian
rektum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum,
sbb:
o Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum
hingga ujung robekan
o Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul
submukosa, menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga
ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang
no. 2/0
o Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa
dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur
o Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan
subkutikuler
o Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol
1 g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak
kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tanda-tanda infeksi yang
jelas
b. Robekan serviks
- Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena
serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina isiadika
tertekan oleh kepala bayi
- Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi
terjadi perdarahan banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan
dari portio
- Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek
sehingga perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan
tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung
atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
- Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus,
tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan
- Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui
tanda-tanda infeksi
- Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar
Hb < 8 g%, berikan transfusi darah
Bagan 2.4 Penilaian Klinik Perdarahan Oleh Karena
Persalinan Trumatika2
E. KELAINAN DARAH
Etiologi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan
platelet biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung
pada kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat
perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam
hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat
menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari
sebab lain, terutama trauma.
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat
persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya,
seperti ITP atau sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis.
Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar
merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan
yang berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi
abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa
DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air
ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar
fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus
mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah
perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan
transfusi PRC.
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh
hipoperfusi jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin
jaringan. Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan
fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).
Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset
terjadinya perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang
mendasari terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma
HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban
dan septikemia. Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab yang mendasari
dan kelainan hemostatik.
Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati
dilusional. Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk
darah bersifat sangat esensial. Perlu saran dari ahli hematologi pada kasus
transfusi masif dan koagulopati.
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan
pada pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit
dengan cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar
5.000 – 10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan
bila gejala-gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah
20.000/mm3. transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit
10.000 – 50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi,
perdarahan aktif atau diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif.
Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh trombosit hanya 3 – 4
hari.
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan
V, VII, IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak
diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi
dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat
pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara
empiris.
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII
dan fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan
penyakit von Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi
untuk terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.
2.3
Insidensi
Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S.
Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik
di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5%
sampai 15%5.
Berdasarkan
penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut:
-
Atonia uteri 50 – 60 %
-
Sisa plasenta 23 – 24 %
-
Retensio plasenta 16 – 17 %
-
Laserasi jalan lahir 4 – 5 %
-
Kelainan darah 0,5 – 0,8 %
2.4
Penilaian Klinik
Tabel
2.4.1 Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok
Volume Kehilangan Darah
|
Tekanan Darah (sistolik)
|
Gejala dan Tanda
|
Derajat Syok
|
500-1.000
mL
(10-15%)
|
Normal
|
Palpitasi, takikardia, pusing
|
Terkompensasi
|
1000-1500 mL (15-25%)
|
Penurunan ringan (80-100 mm Hg)
|
Lemah, takikardia, berkeringat
|
Ringan
|
1500-2000 mL (25-35%)
|
Penurunan sedang (70-80 mm Hg)
|
Gelisah, pucat, oliguria
|
Sedang
|
2000-3000 mL (35-50%)
|
Penurunan tajam (50-70 mm Hg)
|
Pingsan, hipoksia, anuria
|
Berat
|
Tabel 2.4.2
Penilaian Klinik untuk
Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum
Gejala dan Tanda
|
Penyulit
|
Diagnosis
Kerja
|
Uterus
tidak berkontraksi dan lembek.
Perdarahan
segera setelah anak lahir
|
Syok
Bekuan
darah pada serviks atau posisi telentang akan menghambat aliran darah keluar
|
Atonia
uteri
|
Darah
segar mengalir segera setelah bayi lahir
Uterus berkontraksi dan keras
Plasenta lengkap
|
Pucat
Lemah
Menggigil
|
Robekan
jalan lahir
|
Plasenta belum lahir setelah 30 menit
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi dan keras
|
Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
Inversio uteri akibat tarikan
Perdarahan lanjutan
|
Retensio
plasenta
|
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
Perdarahan segera
|
Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak
berkurang
|
Retensi sisa
plasenta
|
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi massa
Tampak tali pusat (bila plasenta belum lahir)
|
Neurogenik syok
Pucat dan limbung
|
Inversio
uteri
|
Sub-involusi uterus
Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus
Perdarahan sekunder
|
Anemia
Demam
|
Endometritis atau sisa fragmen plasenta (terinfeksi
atau tidak)
|
2.5 Kriteria Diagnosis
- Pemeriksaan fisik: Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok,
tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah
keluar melalui vagina terus menerus
- Pemeriksaan obstetri: Mungkin kontraksi usus lembek, uterus
membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin
karena luka jalan lahir
- Pemeriksaan ginekologi: Dilakukan dalam keadaan baik atau
telah diperbaiki, dapat diketahui kontraksi uterus, luka jalan lahir dan
retensi sisa plasenta
2.6 Faktor Resiko
·
Penggunaan obat-obatan (anestesi umum, magnesium sulfat)
·
Partus presipitatus
·
Solutio plasenta
·
Persalinan traumatis
·
Uterus yang terlalu teregang (gemelli, hidramnion)
·
Adanya cacat parut, tumor, anomali uterus
·
Partus lama
·
Grandemultipara
·
Plasenta previa
·
Persalinan dengan pacuan
· Riwayat perdarahan
pasca persalinan
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode
antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan
yang buruk.
- Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan
sejak periode antenatal.
- Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu
perdarahan dan waktu pembekuan.
b. Pemeriksaan radiologi
- Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan
diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan
laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Berdasarkan pengalaman,
pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya jendalan darah dan retensi
sisa plasenta.
- USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi
pasien dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya
perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan
variannya.
2.8 Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada
persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan
post partum. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
- Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah
bayi dilahirkan.
- Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
- Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus
ketika uterus berkontraksi dengan baik
2.9 Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen,
yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum.
Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah
balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan
menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses
intravena. Selama persalinan perlu dipasang peling tidak 1 jalur intravena pada
wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua
pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid
dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat
melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat
persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar
obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat
rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid
dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer
Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki
peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I
L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus
tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang
interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat
menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal
normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih
dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus
kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang
banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat
menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang
terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya
efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap
direkomendasikan.
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus
berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien
menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika
terdapat indikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan
dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.
Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan
infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing
unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium
yang dikandungnya dapat menyebabkan penjendalan.
2.10 Penyulit
- Syok ireversibel
- DIC
- Amenorea sekunder
BAB III
IDENTIFIKASI
KASUS
WHO menunjukkan bahwa 25% dari
kematian maternal yang disebabkan
perdarahan postpartum dari 100.000
kematian maternal setiap tahunnya.
Di inggris (2000) tercatat ada 14 juta dari kasus perdarahan
pospartum dalam kehamilan setiap tahun.
Di Indonesia dari 5 juta kelahiran, dilaporkan20.000
ibumeninggal akibat komplikasi kehamilan dan perdarahan , salah satunya yaitu
perdarahan postpartum.
Menurut kementrian kesehatan RI tahun 2010, tiga faktor
utamakematian ibu melahirkan adalah perdarahan (28%), eklamsia ( 24%), infeksi
(11%), adapun perdaran tersebut yang
menempati pertama dalam kematian ibu atas perdaran antepartum, intrapartum dan postpartum.
Menurut Dinas Kesehatan
Provinsi Sumut penyebab utama kematian ibu di Sumutbelum ada survei khusus, tetapi
secara nasional disebabkan karena komplikasi persalinan (45), retensio plasenta
(20%),robekan jalan lahir(16%),partus lama (11%), perdarahan dan eklamsia
masing-masing 10% , komplikasi selama nifas
5% dan demam nifas 4% (Veronika, 2010).
Berdasarkan data rekam medis RSUD dr.Pirngadi Medan
ditemukan kasus perdarahan postpartum tahun 2007 sebesar 4,5% sebanyak 39 orang
dari 855 persalinan, tahun 2008 sebesar 2,9 % (30 orang) dari 1033 persalinan,
tahun 2009 sebesar 1,05% atau sebanyak 11 orang dari 1048 persalinan, untuk
tahun 2010 sebesar 0,01 % (5 orang) dari 742 persalinan. Jadi dari tahun
2007-2010, 55 kasus merupakan perdarahan postpartum.
DAFTAR PUSTAKA
1. JNPK_KR,2007.Asuhan Persalinan Normal,Jakarta:JHPIEGO
2. Saifuddin, A. B., Affandi, B., Wiknjosastro,
G., H., Waspodo, D. (ed), 2002, Perdarahan Setelah Bayi Lahir dalam Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR –
POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
3. Mochtar, R., Lutan, D.
(ed),1998, Perdarahan Postpartum
dalam Sinopsis Obstetri Jilid1.Jakarta:EGC
4. Wiknjosastro,Hanifa,2005,Patologi Persalinan dan Penanganannya dalam Ilmu Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
5. Wiknjosastro,Hanifa,2005, Perlukaan Alat-alat
Genital dalam Ilmu Kandungan.Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar